11 May 2015

Malangnya Gadis ini Terkurung di Dalam Batu Akik


Kemarin sore ketika menunggu pesanan nasi, saya bertemu dengan seorang perempuan berkerudung. Bersama rekan lelakinya, ia tengah menunggu pesanan juga. Di kedua jari tangan kanan permpuan itu, bertengger cincin bermata batu akik hijau muda. Tanpa berpikir keras, tubuh saya meresponnya dengan bergidik keanehan.

Kala itu saya tengah berada di Jogja yang terkenal sebagai kota wisata kerakyatan, lumbung seniman, dan sarang pelajar, meski yang tersembunyi di dalamnya berupa kehendak intoleran, basa-basi pledoi plagiasi poster, riuh tawuran suporter bola, dan rentan begal.
Saya menyimpan keheranan, mengapa persepsi saya mengenai batu akik berbeda dengan perempuan tersebut.
Bagi saya, entah sejak kapan, akik merupakan benda yang dikultuskan memiliki kekuatan magis. Persepsi yang mengambang dalam bawah sadar tersebut, membuat bulu kuduk saya merinding. Tentu ketika berpapasan dengan penggunanya.
Belakangan ini saya mulai memahami apa yang terkandung di dalam batu akik dan dalam persepsi manusia. Saya menarik kesamaan antara akik dengan sebilah keris. Keduanya kerap dianggap memiliki daya magis yang menyatu pada benda. Ada bagian tak kasat mata yang mengiringi persepsi manusia mengenai benda itu. Unsur-unsur remahan simbol seolah menjadi roh yang berdiam di dalamnya. Energi yang dibentuk dari adonan kekhasan mistis menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam sebilah keris. Padahal bagi seorang empu, keris merupakan penyatuan kekuatan fisika dan seni. Tentu serupa dengan akik.
Namun yang menginap dalam tiap butir batu akik bukan perolehan fisika dan seni lagi. Akan tetapi citra atau persepsi yang ditanam di dalamnya. Benda tersebut dihilangkan kediriannya, lalu dimasuki dengan serangkaian makna. Proses pengiriman makna tersebut berlangsung secara dialektis di kalangan masyarakat. Hingga satu dengan lainnya mempunyai persepsi yang seragam.
Barangkali, permasalahan ini serupa dengan menjamurnya pola pikir kelas menengah tentang cafe atau resto. Apa yang kelas menengah cari di dalamnya? Jika pun mengobati kelaparan, toh persepsi kita tentang kenyang sudah dibentuk sedemikian rapi.
Alih-alih memetakan analisis sosial, memang sudah menjadi hal yang wajar jika kelas menengah cenderung lebih gemar mapping spot spesial tempat bermukimnya colokan listrik. Selain itu kebanyakan kelas menengah menilai kualitas tempat tongkrongan, berdasarkan harga dan suasana. Bisa jadi saya salah, mereka punya hidangan favorit yang pas di indra pengecap. Akan tetapi tetap saja, seperti yang dikatakan oleh Paul Riceour, cita rasa kita telah dibentuk.
Orang Padang akan suka dengan makanan bericita rasa pedas. Masyarakat Jogja lebih dekat dengan rasa manis. Warga Sunda, lebih memilih makanan yang pedas dan asin. Cara membentuk rasa yang disalurkan dalam kepala dan membentuk perspektif kita cukup unik. Modus penyebaran rasa secara serentak melalui kehendak mewariskan.
Di kala masyarakat kita ribut dan tenggelam dalam banjirnya informasi di era kekinian. Ada perang yang terjadi dalam senyap. Sebuah upaya merebut definisi. Barangkali pendefinisian terhadap materi konkrit tersebut merupakan serangkaian tingkah laku dari mitos.
Dengan malu-malu mitos membentuk persepsi kita. Pemilahan terjadi antara yang baik-buruk, cantik-jelek, berani-penakut, lezat-tidak lezat, dan sebagainya. Jika tak mengandalkan nalar kritis, kita akan tergulung dalam arus perspektif mainstream.
Bisa jadi ada benarnya jika batu akik dianggap orang kebanyakan sebagai aksesoris semata. Jika ditinjau ke akarnya, bukankah aksesoris hanya merupakan pemanis bagian tubuh kita? Tak ada fungsi yang bisa disaring dari ide kritis kita mengenai apa fungsi aksesoris. Jangan-jangan hanya sekedar ajang menghimpun citra kelas elit semata. Sama halnya ketika kita memilih kaos berdasarkan label. Tentu perspektif kita tentang kualitas masih dinaungi oleh harga dan citra yang melekat di dalamnya. Ada harapan yang kuat bahwasanya merk tersebut mampu mengangkat strata sosial penggunanya. Maka dari itu ketika menggunakan sepatu Adidas, seolah kita tengah berubah wujud menjadi Adidas yang tengah melangkah.
Bisa kita refeleksikan jika mitos ternyata mampu mengalienasi identitas diri. Ketika kita berubah menjadi citra yang dihimpun dalam sebuah aksesoris, kedirian kita lumpuh tak berdaya. Berubah serupa benda yang bisa ditanami mitos.
Siapa yang tidak heran jika batu akik Sulaiman mampu membuat penggunanya mengalami peningkatan kecerdasan. Belum lagi batu akik jenis Kecubung yang dianggap mampu menguatkan relasi hubungan sosial pemakainya. Ada pula batu amber, diklaim memancarkan karisma. Ada lagi batu Onix yang disangka berkekuatan melindungi bisnis penggunanya. Masih banyak mitos mengenai jenis batu akik yang lain.
Beragam mitos mencoba menghancurkan gerbang nalar kritis kita dan memenuhi diri kita dengan sugesti. Dalam genggaman hipnotis dalam ketidakberdayaan, pola pikir kita tengah disetir oleh sistem pasar. Dominasi ekonomi kapital telah memperalat bagaimana sebuah komoditas hadir dan bagaimana harus dimaknai. Mitos yang dilahirkan dalam bayang semu fantasi sengaja dibuat tak berjarak dengan realitas. Bahkan khayalan yang melampaui realitas tersebut, bergerilya mengambil alih realitas kita.
Mitos telah melakukan pembalakan liar terhadap pola pikir kita. Kekuatan pasar dengan modal besar memainkan perspektif kita. Memangkas kemajemukan menjadi perspektif homogen. Antara satu dengan yang lain punya pandangan yang sama. Ketika hal itu terjadi kita tengah terjebak dalam sementasi pasar. Hasrat untuk mengkonsumsi komoditas pasar akan terus meningkat dan sulit dikontrol.
Saya tidak sedang memaksa kelas menengah atau kalangan yang manapun untuk membenci akik. Apalagi belakangan ini akik tengah meraja lela menjadi salah satu alternatif untuk investasi. Tentu setiap orang bermodal besar beranggapan bahwa lebih aman menukar rupiah dengan sebuah benda, dibanding harus mencemaskan kembang kempisnya nilai rupiah.
Atau bisa saja, seorang perempuan yang dijari manisnya diselipkan cincin bermata akik itu tengah menyuarakan kepeduliannya pada budaya Indonesia. Sebuah sikap yang dihantarkan oleh rasa nasionalisme yang berlebihan. Sama halnya dengan beberapa daerah Indonesia yang sengaja dimarakkan akik sebagai wujud keunikan daerah. Acara daerah berubah menjadi pameran atau festival akik yang tidak berhubungan dengan peningkatan kualitas nalar kita. Capaiannya akik digunakan sebagai penarik wisatawan. Aromanya serupa dengan produksi citra bentukan pasar yang dijadikan sebagai tumbal penarik minat berkunjung wisatawan. Pondasi makna atas benda atau mitos, dilahirkan dari sebuah euforia terhadap fantasi yang diterjemahkan dari harapan masyarakat kekinian.
Tapi ketersesatan mana yang membuat kita, merusak ekosistem alam hanya demi mengemasnya menjadi aksesoris. Pengorbanan bias demi meraih materi penujang citra penggunanya. Harus berapa bagian dari bumi kita yang dikorbankan demi 10.000 PNS di Purbalingga yang diwajibkan Pemerintah Kabupaten Purbalingga memakai cincin akik?
Jika diameter tiap batu akik yang digunakan untuk cincin 1×1 sentimeter, maka untuk 10.000 orang, Indonesia harus mengorbankan 100 meter batu alamnya. Belum lagi tiap PNS tersebut dihimbau untuk memasarkan batu akik ke luar daerah. Mereka bilang, itu varian dari ekonomi kerakyatan. Tapi persepsi saya, kebijakan malu-malu Pemkab Purbalingga adalah penambangan batu alam yang dibuat legal.
LANGSUNG SHARE KE MEDSOS...