8 Aug 2016

Ahok Pemimpin Gagal Dan Arogan.


Info Aneh,- Ahok Pemimpin Gagal Dan Arogan. Ada yang cukup menarik soal cuti kampanye pada Pilgub Jakarta 2017 nanti. Ahok sedang mengajukan judicial review pada MK agar membolehkan gubernur incumbent tidak mengambil cuti.

“Ngajuin cuti itu kan pilihan. Dilindungi UU bahwa saya bertugas sampai 5 tahun. Saya menyatakan tidak mau kampanye, saya mau bahas APBD,” kata Ahok.

Ini menarik karena pada 2012 lalu Ahok mengharuskan Foke yang saat itu gubernur DKI untuk mengambil cuti, alasannya agar tidak ada fasilitas negara yang digunakan.

“Kita tidak takut. Kita hanya ingin menjadikan Jakarta sebagai contoh, dimana para calon gubernurnya taat aturan, yang incumbent saat kampanye dalam mengambil cuti. Ya ini penting agar tidak ada fasilitas negara yang digunakan,” kata Ahok 2012 lalu.

Pernyataan Ahok kini seperti senjata makan tuan. Dulu Ahok meminta gubernur DKI taat aturan, sekarang dia mengajukan judicial review dan tidak taat aturan -kalau mau ikut jalan pikiran Ahok.

Dari sikap Ahok ini saya menyimpulkan dua hal, arogan dan pemimpin gagal.

Arogan

Ahok terlihat sangat arogan dengan tidak mau cuti. Ahok seolah menunjukkan dirinya tak perlu cuti dan tak butuh kampanye karena warga pasti memilihnya. Padahal cuti dan kampanye ini dua hal yang terpisah.

Cuti kampanye bagi pemimpin incumbent diatur dalam undang-undang. Jika Ahok taat aturan, sebaiknya cuti saja. Apa susahnya cuti? Banyak orang bekerja di perusahaan susah ambil cuti, ini Ahok diberi cuti malah tidak mau. Maunya kerja, urus APBD. Jangan-jangan nanti kalau kalah Pilgub, dia tidak mau terima, JR, maunya kerja urus APBD lagi?

Tugas seorang Gubernur memang 5 tahun dan itu diatur UU. Tapi cuti kampanye juga diatur UU. Ahok tidak bisa berdalih masa kerjanya 5 tahun dan tidak bisa dikurangi cuti, sebab semuanya sudah diatur undang-undang dan berlaku sejak dulu.

Urusan APBD dan tugas gubernur lainnya sudah bukan lagi tanggung jawab Ahok saat masa cuti kampanye. Kalaupun Ahok merasa tidak percaya dengan bawahannya, itu bab lain. Ahok hanya perlu cuti. Selesai. Kalau nanti selama masa cuti itu ada penyelewengan dan sebagainya, pasti bisa diusut. Ada KPK dan aparat penegak hukum. Lalu masalah Ahok di mana?

Jika Ahok merasa tidak perlu kampanye karena dinilai tidak penting atau merasa percaya diri warga DKI akan memilihnya, ya tidak usah kampanye, tidur saja di rumah dengan istri dan anak-anak. Atau liburan ke Thailand, nongkrong cantik di pantai. Kan asik.

Sekali lagi, cuti kampanye dan berkampanye itu dua hal yang terpisah. Cuti kampanye adalah cuti saja saat masa kampanye, agar posisi semua calon Gubernur setara. Kalau Ahok tidak cuti, maka ada yang tidak setara, karena jadinya calon Gubernur melawan calon yang masih Gubernur. Tidak adil di sisi undang-undang. Nah yang seperti ini saya simpulkan arogan. Kalau ada yang tidak terima dengan kesimpulan ini, silahkan dibantah, itupun kalau mampu, lho malah saya ikutan arogan, hahaha.

Bahwa sekarang Ahok mengajukan judicial review, itu kenyataan yang sedang terjadi. Tapi kalau melihat alasan atau urgensinya, saya lihat nyaris tidak ada. Coba sekarang tanya, kenapa Ahok tak mau cuti? Yang kita tangkap adalah Ahok ingin bekerja dan tidak perlu kampanye. Opini publik yang coba dibentuk mungkin Ahok tak haus kekuasaan, tak perlu kampanye karena pasrah, dan Ahok ingin bekerja untuk masyarakat DKI.

Namun opini publik tersebut harus berantakan karena bertentangan dengan UU dan sistem demokrasi yang ada selama ini. Sudah sejak dulu yang namanya incumbent itu cuti kampanye, kalau Ahok sekarang tidak mau cuti, otomatis akan ada yang berpikir Ahok ingin memanfaatkan jabatan dan fasilitas negara. Persis seperti yang dipikirkan Ahok pada Foke 2012 lalu.

Lebih buruk dari itu, judicial review yang diajukan oleh Ahok saya pikir hanyalah dagelan politik. Drama. Ahok terlalu pintar untuk tidak bisa berhitung bahwa JR nya pasti ditolak.

“Nah, kalau saya enggak tanya ke MK, dia bilang enggak boleh, lantas bagaimana? Nah, itu kan enggak adil juga,” tutur Ahok.

Artinya Ahok ingin menggunakan haknya untuk bertanya ke MK. Soal dibolehkan atau tidak, itu konsekuensi. Yang penting dia bisa tanya dulu, itu baru namanya adil, begitu pikir Ahok.

Sampai di sini paham ya kenapa saya sebut JR ini hanya dagelan politik? Karena Ahok pun hanya ingin bertanya. Kalau tidak tanya, bagaimana bisa tau boleh tidaknya? Kan begitu.

Jika nantinya ditolak, maka Ahok punya amunisi baru untuk berteriak di media. Orang mau kerja kok tidak boleh? Kampanye itu tidak penting. Buat apa kampanye? Sebab kerja 5 tahun sudah cukup bukti untuk meyakinkan rakyat agar memilihnya lagi, dan seterusnya.

Padahal sekali lagi, cuti kampanye dan berkampanye itu dua hal berbeda. Cuti kampanye itu diatur undang-undang. Kalau jadi Cagub ya harus cuti supaya netral dan adil dengan calon lain. Sementara kampanye itu pilihan, boleh tidak kampanye. Contohnya Jokowi saat di Solo, menang 90% tanpa perlu kampanye. Ya kampanye tipis-tipis lah, tidak ngoyo, lebih banyak santai di rumahnya. Ini yang mungkin harus dipahami oleh Ahok dan konsultan politiknya. Mungkin perlu jasa konsultan tambahan? Bisa hubungi saya. Haha malah promo. Intinya begitu.

Pemimpin Gagal

Pemimpin yang baik adalah berhasil membuat sistem. Pemimpin yang baik bisa mempercayai pembantu atau bawahannya. Begitu sebaliknya, pembantu yang baik harus percaya sama atasannya. Jika bawahan tidak percaya sama pemimpinnya, maka bisa dipecat atau reshuffle. Tapi kalau pemimpinnya tidak percaya bawahannya, ini berarti pemimpin gagal.

“Saya enggak bisa meninggalkan ini. Bahaya, karena APBD lagi disusun. Kalau saya memilih, saya lebih baik enggak kampanye deh, yang penting APBD saya jaga.

Sekarang kan kalau ada saya, PNS yang baik, alasannya baik mereka, tahu enggak, ‘Mohon maaf, saya itu terpaksa. Karena kalau gue (saya) enggak mau menurut perintah Gubernur, gue dipecat.’ Dia bilang begitu loh (ke oknum yang ingin memanipulasi). Kalau enggak ada saya? Mau alasan apa mereka?” ujar Ahok.

Ahok memposisikan diri sebagai satu-satunya orang yang bisa dipercaya dan yang lan tidak. Ahok mau menjaga sendiri APBD, kalau tidak, bisa bahaya. Ahok juga memposisikan dirinya sebagai orang yang paling disegani dan ditakuti. Kalau tidak ada Ahok seolah bakalan kiamat Jakarta.

Saya menyadari bahwa kehadiran Jokowi-Ahok di Jakarta memberi warna baru. Rakyat jadi tau mana pemimpin yang bekerja dan tidak. Apa yang ditorehkan Jokowi dan Ahok selama di Jakarta membuat kita bertanya-tanya “pemimpin sebelumnya ngapain?”

Tapi terlepas dari jasa dan pelayanan yang sudah Ahok berikan, rupanya Ahok gagal membangun sistem dan kaderisasi. Ahok masih belum percaya pada bawahannya.

Buruknya, pernyataan Ahok ini juga menjadi senjata makan tuan. Persis seperti dulu Ahok berkoar incumbent harus cuti tapi sekarang dirinya sendiri tidak mau cuti. Sebab dulu Ahok sangat perrcaya diri sudah membangun sistem yang baik, agar siapapun Gubernur Jakarta nantinya pasti transparan dan tidak bisa manipulasi lagi.

“Saya enggak pernah yakin menang, saya justru siap-siap kalau saya kalah harus seperti apa. Makanya saya sudah siapin BUMD mesti go public dan semua data-datanya dibuka. Jadi di mana ada pernyataan saya yakin menang? Saya justru bersiap-siap supaya sampai Oktober 2017 kalau saya tinggalin tempat ini pun transparansi sudah tidak bisa ditahan lagi. Jadi ada sebuah model gubernur itu harusnya seperti apa gitu loh,” tandas Ahok 10 Januari 2015 lalu di Balaikota.

Pernyataan ini juga dilontarkan Ahok saat ditanya oleh Najwa Shihab dalam acara talkshownya, Ahok ingin nantinya sistem sudah berjalan dan tidak perlu khawatir lagi siapapun Gubernur Jakarta setelahnya, sekalipun bukan dia.

Tapi jika melihat kenyataan sekarang, Ahok takut dan tidak percaya, merasa bahaya kalau bahasan APBD ditinggal, ini menunjukkan bahwa selain menjadi pemimpin yang gagal melahirkan kaderisasi, Ahok sepertinya juga gagal membuat sistem yang dicita-citakannya dulu.

Begitulah kura-kura. 

LANGSUNG SHARE KE MEDSOS...