Di Pegunungan Himalaya, traveler mengenal dongeng Yeti, monster salju yang berkeliaran di kawasan puncak pegunungannya. Tapak kakinya pernah ditemukan, namun belum pernah ada yang melihatnya!
Situs BBC baru-baru ini kembali menguak mitos Yeti dengan judul, ‘Is the Himalayan Yeti a real animal?’. Terang saja, cerita tentang Yeti sudah beredar di masyarakat setempat dan jadi perbincangan para pendaki di dunia sejak abad ke-19. Hingga kini, mitos Yeti masih jadi ‘bumbu penyedap’ bagi mereka yang mau mendaki Pegunungan Himalaya.
Seperti yang dikutip dari detik.com, Yeti digambarkan berbadan besar, memiliki taring dan berbulu putih yang lebat. Yeti pun memiliki perpaduan badan yang unik, konon campuran dari kera dan manusia.
Dari situs BBC, belum diketahui pasti darimana mitos tentang Yeti pertama kali muncul. Namun masyarakat Sherpa yang mendiami kaki Pegunungan Himalaya, sudah mengenal tentang Yeti dari zaman dulu dan menjadi cerita turun temurun dari leluhurnya.
Bagi masyarakat Sherpa, Yeti diyakini sebagai sosok yang buas dan tinggal di kawasan puncak Pegunungan Himalaya. Bahayanya, Yeti memiliki hubungan yang tidak baik dengan manusia. Yeti dan manusia saling membunuh, yang juga membuat masyarakat Sherpa tidak berani jalan sendirian di Pegunungan Himalaya. Mereka pun menyebut Yeti sebagai binatang liar.
Kemudian di abad ke-18 dan 19, mitos tentang Yeti mulai berkembang luas yang sampai-sampai ke kawasan Bhutan, Tiongkok sampai ke pegunungan-pegunungan bersalju di Siberia.
Beberapa ekspedisi dilakukan para pendaki untuk membuktikan kebenaran Yeti. Para pendakinya kebanyakan datang dari negara-negara barat, yang berhasil membujuk masyarakat Serpa untuk bekerja sama berburu Yeti.
Tahun 1921, seorang penjelajah Inggris, Charles Howard-Bury membuat gempar dunia. Dia mengaku melihat jejak kaki besar setelah petualangannya berpuluhan hari di Pegunungan Himalaya sampai mendaki Puncak Everest. Jejak kaki yang diyakini milik Yeti. Jejak kaki yang bukan seperti jejak kaki manusia!
Charles Howard-Bury pun berpendapat kalau Yeti merupakan manusia-kera. Setelah itu, makin banyaklah para pendaki yang ingin menguak kebenaran mitos Yeti. Mereka berlomba-lomba mendaki Pegunungan Himayala demi bisa melihat monster salju tersebut.
Di tahun 1951, giliran pendaki asal Inggris lainnya, Eric Shipton yang bikin heboh. Dia memotret jejak kaki besar yang ada di atas salju dan lagi-lagi bentuknya bukan seperti tapak kaki manusia.
Di tahun-tahun berikutnya, kemudian makin banyak ditemukan aneka jejak kaki sampai kulit kepala dan tangan yang berukuran raksasa. Mitos tentang Yeti makin menyeruak kencang, bahkan sampai-sampai ada museum tentang Yeti di Seberia.
Namun ternyata, tidak semua pendaki percaya dengan sosok Yeti. Reinhold Messner, seorang pendaki yang pernah menjelajahi Pegunungan Himalaya dan naik ke Puncak Everest justru blak-blakan menyangkal tentang monster salju tersebut.
“Yeti sebenarnya adalah beruang. Semua jejak kakinya adalah jejak kaki beruang. Yeti memang nyata, tapi dia itu beruang,” tegasnya.
Apa yang dikatakan Messner, mendapat dukungan dari tim peneliti Universitas Oxford di bawah pimpinan Profesor Bryan Sykes. Dia melakukan uji DNA yang diambil dari tulang dan kulit kepala yang diyakini milik Yeti. Yang diambil, dari Nepal dan Bhutan. Apa hasilnya?
“Yeti merupakan makhluk persilangan antara beruang kutub dan beruang coklat,” katanya.
Sampel rambut yang dipercaya milik Yeti, sangat cocok dengan sampel rambut beruang kutub yang berkeliaran di Bumi sekitar 40.000 tahun yang lalu. Yeti, diangap Sykes, merupakan keturunan baru dari nenek moyang beruang kutub. Hasil ini menarik, benar-benar tak terduga dan memberikan kejutan untuknya.
“Saya yakin Yeti adalah beruang kutub yang berkeliaran di Himalaya,” ungkap Sykes.
Dia menyampaikan, bisa juga Yeti merupakan sub spesies dari beruang coklat Himalaya yang merupakan nenek moyang dari beruang kutub. Yeti bisa juga lahir dari hasil hibridisasi baru dari beruang coklat dan keturunan dari beruang kutub kuno.
Meski begitu, masih ada lagi pendapat-pendapat lain yang menyebut kalau Yeti merupakan rangkaian evolusi dari kera menjadi manusia. Namun lagi-lagi para peneliti membantahnya, dengan menilai kalau tidak ada bukti kuat keberadaan primata di Pegunungan Himalaya. Bukti kuat tentang pendapat ini pun nihil.
“Jika ada primata di puncak Pegunungan Himalaya, maka mereka harus turun ke hutan subtropis saat musim dingin seperti kera salju di Jepang. Cuaca di sana sangat ekstrem dan bisa membunuh mereka,” ujar pendapat Vladimir Dinets, peneliti dari University of Tennessee, AS.
Messner kembali berpendapat, cerita tentang Yeti dibuat leluhur masyarakat Sherpa untuk bertujuan baik. Agar, masyarakatnya tidak sendirian menjelajahi Pegunungan Himalaya disebabkan cuaca, iklim dan medan yang sangat berbahaya. Masyarakat Sherpa juga secara tidak langsung, memilih untuk tinggal secara berdekat-dekatan demi keamanan bersama.
Mitos tetap selamanya menjadi mitos. Dari mitos Yeti juga, desa-desa di sekitar pegunungan Himalaya seperti di Tibet, Tajikistan dan Kirgistan selalu ramai oleh turis yang mau berburu atau mendengar kisah tentang Yeti.